Kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih menjadi isu yang meresahkan hingga saat ini.
Masyarakat perlu berperan aktif untuk mengantisipasi kekerasan berbasis gender atau femisida.
Dibalik setiap berita tragis tentang seorang perempuan yang tewas ditangan pasangan, mantan pasangan, keluarga, dan lain sebagainya, ternyata tersembunyi sebuah pola yang lebih gelap dan sistematis, yakni femisida yang berakar dari misogini.
Femisida, pembunuhan terhadap perempuan yang kerap dipicu oleh rasa cemburu, patriarki, rasa tidak terima oleh penolakan perempuan teradap keinginan laki-laki dan ciri khasnya termasuk kekerasan seksual sebelum pembunuhan, mutilasi/penyiksaan yang ekstrim, disertai justifikasi bahwa perempuan ”pantas” mendapatkan perlakuan tersebut bukan lagi sekedar isu kriminalitas saja, melainkan cermin nyata betapa misogini masih mengakar kuat dalam sistem sosial Indonesia.
Di tahun-tahun terakhir, kasus femisida di Indonesia terus mengalami peningkatan. Sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025, sejumlah kasus femisida keji mengguncang masyarakat Indonesia. Salah satunya adalah kasus mutilasi di Padang Pariaman, Sumatra Barat yang menjadi sorotan nasional pada Juni 2025. Septia Ananda (25), korban yang dibunuh secara brutal dan dimutilasi oleh Satria Juhanda alias Wanda, yang ternyata diketahui membunuh dua perempuan lain sebelumnya.
Motif utama pelaku dalam kasus pembunuhan Septia Ananda adalah sakit hati dan kesal, lantaran korban tak kunjung membayar utangnya sebesar Rp3.500.000.
Untuk dua korban lainnya, Satria Juhanda menerangkan bahwasannya motif pembunuhan yang dilakukannnya adalah cemburu dan sakit hati, lantaran korban yakni Siska Oktavia Rusdi/Cika (sang kekasih pelaku) diduga selingkuh saat KKN dan dibantu oleh korban lainnya yakni Adek Gustiana/Adek (teman korban) yang sempat dinyatakan hilang sejak Januari 2024 lalu.
Berdasarkan data terkini, sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban dengan motif yang sering muncul yakni rasa kontrol dan kepemilikan.
Pada saat perempuan mencoba mengambil keputusan mandiri, pelaku merasa kehilangan kontrol atas perempuannya dan memandang bahwa pembunuhanlah satu-satunya cara untuk memiliki korban selamanya.
Dalam beberapa kasus lain, perempuan dibunuh sebab dianggap mencemarkan nama baik (keluarga, pasangan, dll) yang biasa disebut dengan istilah ”Honor Killing” atau ”Pembunuhan Kehormatan”.
Lalu alasan mengapa Indonesia rentan terhadap femisida adalah yang pertama dipengaruhi oleh faktor budaya patriarki yang sudah mengakar.
Sistem patriarki yang masih kuat di negara kita ini sering menempatkan perempuan sebagai objek yang bisa dimiliki dan juga dikontrol, jadi ketika perempuan mencoba untuk keluar dari zona peran yang sudah ditetapkan, kekerasan seringkali menjadi respon aktif.
Selain itu, ungkapan seperti ”istri harus patuh pada suami” masih sering terdengar di telinga masyarakat. Normalisasi inilah yang membuat kekerasan terhadap perempuan sering dianggap wajar dan bahkan dibenarkan.
Berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, dalam rentang waktu Oktober tahun 2023 hingga Oktober 2024 saja, sudah tercatat sebanyak 290 kasus femisida. Yang lebih mengkawatirkan lagi, sebanyak 48% pelaku femisida adalah orang terdekat korban, dan 53% kasus femisida ini terjadi di rumah korban. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman dan teraman, justru menjadi tempat paling menakutkan bagi korban. Data ini memperlihatkan bahwa ancaman terbesar bagi perempuan justru datang dari lingkaran terdekat mereka, bukan dari orang asing.
Komnas Perempuan sejak tahun 2020 hingga tahun 2023 menemukan bahwa femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami/mantan suami dan pacar/mantan pacar adalah yang tertinggi di Indonesia.
Dalam banyak kasus, pembunuhan ini dipicu oleh hal-hal yang terlihat sangat sepele namun mencerminkan mindset kontrol, seperti perempuan mengakhiri hubungan (putus hubungan), menolak permintaan pasangan (dalam hal apapun itu), atau bahkan sekedar keluar rumah tanpa izin. Fenomena inilah yang menunjukkan betapa perempuan masih dipandang sebagai properti yang harus tunduk pada kehendak laki-laki.
Sayangnya, respon dari sistem hukum dan masyarakat terhadap femisida masih sangat lemah dan kurang. Kasus femisida yang meningkat di Indonesia, dari segi jumlah ataupun bentuknya belum mendapatkan perhatian serius dan masih dipandang sebagai bentuk tindakan kriminal biasa. Banyak kasus femisida yang dilabeli sebagai ”Pembunuhan karena cemburu” atau ”Pembunuhan karena sakit hati” tanpa mengakui dimensi misoginis yang mendasarinya.
Media massa pun seringkali menyajikan berita femisida dengan sudut pandang yang menyalahkan korban atau bahkan menormalisasi kekerasan itu dengan frasa seperti ”gara-gara selingkuh” atau ”karena sakit hati”. Padahal tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan pembunuhan terhadap perempuan.
Menurut saya, kasus femisida di Indonesia adalah cerminan kegagalan kolektif kita sebagai bangsa. Kita masih gagal untuk melindungi perempuan dari ancaman yang paling mendasar, yakni ancaman terhadap nyawa mereka. Edukasi yang berkelanjutan tentang kesetaraan gender dan bahaya misogini adalah kunci untuk mengubah presepsi ini, baik di tingkat keluarga, sekolah maupun di masyarakat luas.
Referensi:
- Kasus Mutilasi di Sumatra Barat yang mengungkap dua pembunuhan lainnya-BBC News Indonesia (https://youtu.be/Ax5OEWFonNY?si=-1t-mFjJUOrcDMM_)
-Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Peluncuran Pemantauan Femisida 2024, “Pengembangan Pengetahuan, Pendokumentasian dan Penanganan Korban Femisida”. (https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-tentang-peluncuran-pemantauan-femisida-2024)
Femisida Pegawai BPS: Judol, Kerentanan Perempuan, dan pentingnya Komunitas (https://magdalene.co/story/kasus-justice-for-tiwi/)
Penulis : Khairul Anisa
Mahasiswa Ilmu Hukum UT.