Setelah Hari Raya Idul Fitri, masyarakat di berbagai daerah di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, melanjutkan perayaan dengan tradisi unik yang dikenal sebagai Lebaran Ketupat. Tradisi ini bukan hanya tentang makanan khas berupa ketupat, namun juga sarat makna budaya dan sejarah yang mendalam.
Awal Mula Lebaran Ketupat
Lebaran Ketupat diyakini berasal dari ajaran Sunan Kalijaga, salah satu dari sembilan Wali Songo yang berperan besar dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa. Tradisi ini disebut-sebut sebagai bentuk akulturasi antara budaya Islam dan adat lokal Jawa.
Menurut sejarah, Sunan Kalijaga memperkenalkan dua kali perayaan Idulfitri. Yang pertama adalah Idulfitri pada 1 Syawal sebagai momen untuk kembali fitrah setelah sebulan berpuasa. Yang kedua adalah Bakda Kupat atau Lebaran Ketupat, yang dirayakan pada 8 Syawal, sebagai bentuk rasa syukur bagi mereka yang melanjutkan puasa enam hari setelah Idulfitri, sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW.
Filosofi Ketupat
Dalam bahasa Jawa, ketupat atau “kupat” memiliki makna simbolis. Kupat merupakan singkatan dari “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan), yaitu: lebaran, luberan, leburan, dan laburan.
Lebaran: kembali kepada kesucian
Luberan: melimpahnya rezeki
Leburan: saling memaafkan dan melebur dosa
Laburan: mensucikan diri dengan kapur sebagai simbol kebersihan hati
Perayaan dan Tradisi Lokal
Lebaran Ketupat biasanya dirayakan secara meriah dengan sajian ketupat yang disandingkan dengan opor ayam, sayur labu, hingga sambal goreng. Di pesisir utara Jawa, tradisi ini berkembang menjadi Syawalan, di mana masyarakat melakukan ziarah kubur, halal bihalal, hingga mengadakan sedekah laut.
Di Gresik, misalnya, masyarakat berbondong-bondong ke makam Sunan Giri untuk melakukan ziarah dan membawa ketupat sebagai simbol doa dan syukur. Sementara di Yogyakarta dan Solo, Lebaran Ketupat dirayakan dalam bentuk kenduri dan pembagian makanan kepada tetangga.
Warisan Budaya yang Perlu Dijaga
Lebaran Ketupat bukan hanya perayaan kuliner, tetapi juga simbol kekayaan budaya Islam Nusantara. Di tengah arus modernisasi, tradisi ini menjadi pengingat pentingnya menjaga keharmonisan sosial, spiritualitas, dan kebersamaan dalam masyarakat.(RED-HB).