JAKARTA – Hari ini Kementerian Kesehatan telah meluncurkan Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSP-PU) atau Hospital Based. Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mengapresiasi program yang merupakan salah satu amanah UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 209 Ayat 2. ”Terobosan dan keberanian Kemenkes untuk menyelenggarakan hospital based ini bagus,” kata Edy.
Hanya saja yang perlu diantisipasi adalah tidak boleh ada standar ganda dengan fakultas kedokteran yang selama ini menyelenggarakan program spesialis juga. Kurikulum, proses pendidikan, dan kualitas lulusan antara hospital based dengan university based harus sama. Pada hospital based, kolegium bertanggung jawab pada standar pendidikan. Tentu bekerjasama dengan Kemendikbud, Kemenkes, dan asosiasi rumah sakit tempat diselenggarakannya program hospital based. “Oleh karena itu butuh peraturan pemerintah untuk memayungi pelaksanaan pendidikan spesialis berbasis rumah sakit ini,” tuturnya.
Legiselator dari Dapil Jawa Tengah III ini menyetujui jika peserta program dokter spesialis berbasis rumah sakit ini berasal dari daerah dan akan kembali ke asalnya. Tersedianya dokter di daerah tertinggal, sulit, dan perbatasan memerlukan atensi. Sebab Edy kerap mendapatkan keluhan masyarakat yang sulit mendapatkan layanan kesehatan karena tidak ada dokter. Setidaknya mereka harus keluar daerah dan akhirnya membutuhkan biaya yang mahal. “Semoga lulusan hospital based ini adalah putra daerah dan mau mengabdi di daerah asalnya,” ujar Edy.
Pada pilot project hospital based, ada enam rumah sakit yang melayani enam jenis pendidikan dokter spesialis. Edy memahami jika pembukaan program ini dilakukan bertahap. Dia menyarankan agar kedepan Kemenkes fokus ke layanan spesialis dasar. “Kalau berdasar yang disampaikan Kemenkes melalui siaran persnya, per April 2024, 34 persen RSUD di Indonesia belum mencukupi tujuh jenis dokter spesialis dasar seperti dokter spesialis anak, obgyn, bedah, penyakit dalam, anestesi, radiologi, dan patologi klinik. Ini dulu yang dikejar,” tutur Edy.
Selain menambah jumlah dokter spesialis, Edy juga meminta agar Kemenkes menambah perawat dan apoteker spesialis. Sebab dalam UU 17/2023 menekankan pendidikan spesialis tidak hanya untuk dokter. “Tenaga kesehatan yang memiliki level spesialis itu perawat dan apoteker. Termasuk juga psikolog klinis. Kedepan jangan eksklusif yang seolah program spesialis hanya untuk dokter,” ujarnya.
Pendidikan perawat spesialis sudah dilakukan di beberapa universitas. Spesialisnya meliputi spesialis anak, keperawatan bedah, jiwa, komunitas, maternitas, termasuk untuk onkologi dan kegawatan. “Ini bisa didorong berbasis hospital. Beasiswa spesialis ini juga harus diberikan kepada perawat,” tuturnya.
Menurutnya perawat adalah mitra dari dokter sehingga membutuhkan kepiawaian yang sama. Ada beberapa jenis spesialis pada perawat yang jumlahnya kurang. Misalnya saja perawat hemodialisa yang diperirakan jumlahnya kurang 10 ribu. “Rasio dan distribusi perawat ini juga penting. Sebab dalam layanan kesehatan butuh sinergi antara dokter dan perawat. Jangan sampai jomplang,” kata politikus PDI Perjuangan ini.
Selanjutnya yang perlu dilakukan bersamaan dengan program hospital based ini adalah pemerataan alat kesehatan. Pemetaan ketersediaan alat kesehatan ini menurut Edy perlu dilakukan. Misalnya dalam satu provinsi, rumah sakit tipe A, B, C, dan D memiliki alat apa saja. Jika alat kesehatannya belum memenuhi, maka pemerintah pusat dan daerah harus bekerjasama dalam penyediaanya. Hal ini menurutnya tidak hanya memberi manfaat bagi dokter atau tenaga medis, tapi masyarakat juga merasakan manfaat pemerataan layanan kesehatan. “Diharapkan sistem rujukannya itu jalan di satu provinsi saja. Masyarakat tidak perlu ke luar provinsi karena alat kesehatan atau tenaga medisnya tidak ada,” ungkapnya.
Edy Wuryanto
Anggota Komisi IX DPR RI
Fraksi PDI Perjuangan, Dapil Jawa Tengah III