Rista, seorang gadis jelita. Ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan penuh semangat. Namun, ada satu hal yang membuatnya berbeda dari teman-temannya.
Rista sangat terobsesi dengan ruang digital. Baginya, dunia maya adalah tempat di mana ia bisa menjadi siapa saja, melakukan apa saja, dan menemukan segala hal yang tidak bisa ia dapatkan di dunia nyata.
Setiap hari, Rista menghabiskan waktunya untuk menjelajahi berbagai platform media sosial, forum online, dan aplikasi chatting. Ia merasa bahwa ruang digital adalah tempat di mana ia bisa menemukan suaranya, suara yang seringkali tenggelam dalam kesibukan dunia nyata.
Namun, semakin dalam ia menyelam, semakin ia menyadari bahwa ruang digital tidak selalu seindah yang ia bayangkan.
Suatu hari, Rista menemukan sebuah grup online yang membahas topik-topik menarik seputar teknologi dan inovasi. Ia merasa seperti menemukan harta karun. Rista pun mulai aktif berpartisipasi, menulis pendapat, dan berdiskusi dengan anggota lainnya. Ia merasa bahwa akhirnya ia menemukan tempat di mana ia bisa berkembang.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Suatu malam, ketika Rista sedang asyik berdiskusi, tiba-tiba muncul komentar-komentar kasar dan penuh kebencian dari anggota lainnya. Mereka mulai menyerang pendapat Rista dengan kata-kata yang menyakitkan. Rista terkejut dan merasa hancur.
Ia tidak menyangka bahwa ruang yang ia anggap aman ternyata bisa berubah menjadi tempat yang begitu menyeramkan.
Rista mencoba untuk membela diri, tetapi semakin ia melawan, semakin keras serangan yang ia terima. Ia merasa seperti terjebak dalam labirin yang tidak ada ujungnya. Akhirnya, Rista memutuskan untuk mundur.
Ia keluar dari grup itu dan mencoba untuk melupakan kejadian tersebut. Namun, bekas luka itu tetap ada, dan Rista mulai mempertanyakan apakah ruang digital benar-benar tempat yang aman untuknya.
Beberapa minggu kemudian, Rista bertemu dengan seorang teman lama Bernama Arta. Arta adalah seorang penggiat medsos yang sering mengkampanyekan pentingnya menjaga kondusifitas ruang digital.
Melihat Rista yang murung, Arta pun bertanya apa yang terjadi. Rista menceritakan pengalamannya dengan jujur.
Arta mendengarkan dengan seksama, lalu berkata, “Ruang digital itu seperti cermin, Rista. Ia memantulkan apa yang kita masukkan ke dalamnya. Jika kita mengisinya dengan kebaikan dan rasa hormat, maka ia akan menjadi tempat yang indah. Tapi jika kita membiarkan kebencian maupun ketidakpedulian, maka itu akan berubah menjadi tempat yang mengerikan”
Rista tertegun mendengar kata-kata Arta. Ia menyadari bahwa selama ini ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana caranya untuk membuat ruang digital menjadi lebih baik. Arta kemudian mengajak Rista untuk bergabung dalam sebuah proyek yang bertujuan untuk meningkatkan literasi digital di kalangan remaja.
Mereka mulai mengadakan workshop dan seminar di sekolah-sekolah, mengajarkan anak-anak muda tentang pentingnya etika berdigital, cara menerima informasi, dan bagaimana melindungi diri dari cyberbullying.
Rista merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk mengobati pengalaman buruknya.
Seiring berjalannya waktu, Rista mulai melihat perubahan. Banyak anak- anak muda mulai lebih bijak dalam menggunakan media sosial, lebih hati-hati dalam berkomentar, dan lebih peduli terhadap orang lain. Ruang digital yang dulu ia anggap sebagai tempat yang menakutkan, kini mulai terasa lebih hangat dan ramah.
Di akhir cerita, Rista duduk di depan layar komputernya, tersenyum. Ia baru saja menerima pesan dari seorang peserta workshop yang mengucapkan terima kasih karena telah mengajarkannya tentang pentingnya menjaga kondusifitas ruang digital.
Rista pun menyadari bahwa ruang digital bukanlah tempat yang sempurna, tetapi ia bisa menjadi tempat yang baik jika kita semua berusaha untuk menjaganya.
Dan di balik layar itu, Rista menemukan kembali suaranya, suara yang tidak hanya ingin didengar, tetapi juga ingin membuat perubahan.
(Penulis : Dhiza Lutfia Anindasari, siswi SMKN 1 BLORA).