“Scroll TikTok, Instagram, Facebook, atau Tweeter sambil komen ini-itu? Hati-hati ya, jangan sampai ‘bebas berpendapat’ malah jadi masalah hukum!”
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebebasan berpendapat terdiri dari kata ”bebas” yang artinya tidak terikat atau merdeka, dan ”pendapat” yang berarti ide atau gagasan seseorang tentang sesuatu.
Jadi, kebebasan berpendapat adalah kemerdekaan bagi setiap individu untuk menyampaikan ide atau gagasan mengenai suatu hal.
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar utama dalam sistem demokrasi yang sehat. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk berkontribusi dalam diskusi dan mendorong inovasi melalui pertukaran ide yang bebas dan terbuka. Hak ini bahkan sudah diakui secara internasional sebagai salah satu hak asasi manusia.
Meskipun dijamin dalam konstitusi, pelaksanaaan kebebasan berpendapat di Indonesia tidak tanpa batas. Perlu diingat, selain sebagai negara demokrasi, Indonesia juga merupakan negara hukum (rechsstaat), sehingga segala aspek kehidupan termasuk kebebasan berpendapat harus diatur melalui hukum.
Di Indonesia kebebasan berpendapat ini ditekankan dalam Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Realita di Media Sosial
Dalam praktiknya, ada kesenjangan antara teori dan kenyataan. Siapa yang tidak pernah kesal dengan postingan di media sosial? Mulai dari pamer liburan mewah saat kita lagi kesulitan finansial, foto makanan enak pas lagi diet, sampai yang paling bikin emosi, influencer yang sembarangan membahas isu sensitif.
Nah, saat lagi kesal seperti itu, kita sering langsung mengetik di kolom komentar tanpa mikir panjang. Tapi tunggu dulu! Ada batas antara ‘bebas berpendapat’ dan ‘cyberbullying’ yang bisa membuat kamu berurusan dengan hukum.
- Kebebasan berpendapat, ada hak, ada batas
Iya, kita punya hak untuk berpendapat. Tapi ingat, hak kita berhenti ketika mulai merugikan hak orang lain. Ada pepatah terkenal, yakni “Kebebasan kamu berakhir di ujung hidung orang lain.”
”Pendapat yang diperbolehkan apa saja?” Yang boleh itu kritik konstruktif, berdiskusi dengan data, dan sindiran halus dengan bahasa yang sopan. ”Lalu pendapat apa yang sudah masuk zona bahaya?” Nah, biasanya pendapat yang sudah masuk dalam zona bahaya itu mengandung serangan personal, body shaming, dan ancaman keselamatan. - Contoh kasus yang sering terjadi:
a) Review makanan yang bermasalah
Si A memberikan ulasan warteg di Instagram story, mengatakan “Makanannya biasa aja, pelayanan agak lama.” Ini masih aman, karena hanya review jujur.
Tapi kalau si A mengatakan “Pemilik warung ini penipu! Makanan basi, tidak segar, jangan makan disini!” padahal tidak ada bukti makanan tidak layak konsumsi, maka ini udah masuk kategori pencemaran nama baik.
b) Komentar negatif di media sosial
Si B memposting dance di TikTok, kemudian banyak yang berkomentar “Jogetan lu alay, kaku, kok bisa PD sih”. Hal ini sudah termasuk cyberbullying! Apalagi jika sampe ada yang membuat akun palsu untuk terus-menerus memberikan komentar negatif.
c) Perdebatan politik di media sosial
Wajar jika memiliki perbedaan pendapat politik. Tapi jika sudah sampai mengatakan “Pendukung partai X itu kurang berpendidikan”, “Politisi Y itu buruk”, bahkan melakukan doxxing (menyebarkan alamat/data pribadi), hal tersebut sudah masuk ranah hukum pidana. - Pasal-pasal yang mengatur pelanggaran
a) UU ITE Pasal 27 ayat (3) – Pencemaran Nama Baik. Contohnya, menyebar fitnah/informasi yang tidak benar tentang seseorang tanpa bukti yang bisa dipertanggungjawabkan.
b) UU ITE Pasal 28 ayat (2) – Ujaran Kebencian. Contohnya, memposting konten yang memicu kebencian berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
c) KUHP Pasal 310 dan 311 – Pencemaran Nama Baik dan Fitnah. Contohnya, tuduhan palsu yang dapat merusak reputasi seseorang atau lembaga.
d) KUHP Pasal 315 – Penghinaan Ringan. Contohnya komentar seperti “dasar jelek”, “gak ada otak”, “bodoh banget sih”, atau ejekan terhadap penampilan fisik seseorang di media sosial. - Tips aman berkomentar di media sosial:
a) Empati pertama, selalu bertanya pada diri sendiri: “Jikalau ini ditujukan kepadaku, bagaimana rasanya?”
b) Kritik ide/gagasannya, bukan orangnya. Alih-alih mengatakan: “Pemikiranmu sempit!” Lebih baik: “Pendapat ini sepertinya kurang tepat, karena…”
c) Gunakan sudut pandang pribadi. “Menurutku …” atau “Dari pengalamanku…” terdengar lebih sopan daripada “Kamu salah!”
d) Jeda saat emosi, sebaiknya mundur sejenak, simpan dulu postingan yang mengganggu, lalu pikirkan ulang keesokan harinya. Trust me, saat emosi mereda, pikiran akan jadi lebih jernih.
e) Blokir, dan jangan terlibat! Tidak perlu merespons komentar provokatif karena hanya akan menjadi perdebatan berkepanjangan. - Lalu bagaimana kalau jadi korban cyberbullying?
Jangan diam aja! LAWAN!!
Kumpulkan bukti (seperti screenshot), lalu laporkan akun tersebut ke platform (seperti Instagram, TikTok, Twitter yang punya fitur report), jikalau parah lapor ke polisi dengan bukti yang sudah dikumpulkan, dan ceritakan kepada orang yang dipercaya agar dapat bantuan dan jangan ditanggung sendiri.
Inget ya, cyberbullying bukan sekadar”bercanda internet”. Dampaknya nyata, bisa menyebabkan depresi, anxiety, bahkan ada yang sampai menyakiti diri sendiri.
Kesimpulannya “Be Smart, and Stay Legal!”
Internet itu seperti dunia nyata, hal yang tidak boleh dilakukan di dunia nyata, juga tidak boleh dilakukan di internet. Ingin berpendapat? Silakan, tetapi tetep dengan cara yang beradab.
Jadi, next time jika mau komentar di postingan orang lain, pertimbangkan dulu ya. Ingat ya, dibalik setiap akun media sosial ada manusia dengan perasaannya. Jangan sampai karena emosi sesaat, masa depan kamu jadi suram karena berurusan dengan hukum. Treat people with kidness, karena kita tidak pernah tahu perjuangan apa yang sedang diusahakannya.
STAY SAFE, NETIZEN!
Referensi:
- Oktaviani, S. (2024). KONSTITUSI DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA: ANALISIS KETERBATASAN DAN PERLINDUNGAN: Kebebasan Perpendapat di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Manajemen, 2(7), 174-186.
- Mas’ud, F., Jeluhur, H., Negat, K., Tefa, A., Uly, M., & Amtiran, M. (2025). Etika Dalam Media Sosial Antara Kebebasan Ekspresi Dan Tanggung Jawab Digital. Jimmi: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Multidisiplin, 2(2), 235-246.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pdf (https://pkbh.uad.ac.id/wp-content/uploads/Kitab-Undang-undang-Hukum-Pidana_KUHP.pdf)
- Undang-Undnag ITE pdf (https://share.google/Bomm9PBk8v2i68Toa)
Penulis : Khairul Anisa, Mahasiswi Prodi Ilmu Hukum Universitas Terbuka (Salut Cepu Raya) Semester V, magang di Dinkominfo Blora.(RED-HB).