BLORA – Sejumlah siswa jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) dari SMK Muhammadiyah 1 Blora, SMK Muhammadiyah 1 Kunduran dan SMKN 1 Cepu yang melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL) di Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kabupaten Blora terus digembleng untuk praktik membuat konten foto dan video.
Kali ini, Selasa (16/9/2025) mereka diajak membuat konten foto dan video di industri rumahan kerajinan anyaman bambu di Desa Sumurboto, Kecamatan Jepon, Blora.
Mereka diajak ke lokasi itu supaya lebih mengenal kearifan lokal yang sudah ada sejak lama, lebih mood dan fokus dengan variasi dan komposisi angel foto dan video yang menarik menggunakan kamera gawai.
“Menarik sekali, sebuah tempat yang secara turun-temurun bertahan membuat kerajinan anyaman bambu, di era teknologi dan bersaing dengan produk plastik, dan ini kearifan lokal yang ikonik di Desa Sumurboto,” kata Bayu, salah satu siswa PKL dari SMK Muhammadiyah 1 Blora.
Ungkapan senada disampaikan oleh Ferdi, Faroz, Salza, Hanifah dan Nayla. Mereka sempat kagum, karena baru pertama kali mengunjungi perajin anyaman bambu di Desa Sumurboto.
“Tadi kami sowan ke Ibu Kepala Desa Sumurboto dulu, minta izin, kami sampaikan maksud kami. Ibu Kadesnya ramah dan baik menerima kami. Kemudian dipersilakan mengunjugi para perajin,” kata Salza siswa PKL dari SMKN 1 Cepu.
Gayung bersambut, mereka lantas mewawancarai para perajin, memainkan kamera gawai dan praktik membuat kerajinan.
“Iya kami tadi diizinkan ikut praktik membuat dunak (bakul), ternyata sulit, mungkin karena kami belum terbiasa, tapi asik,” kata Nayla, siswa PKL dari SMK Muhammadiyah 1 Kunduran
Untuk diketahui, sebagian besar penduduk Desa Sumurboto, berprofesi sebagai petani, namun membuat kerajinan anyaman bambu sangat melekat khususnya bagi para wanita desa setempat.
Kerajinan anyaman bambu seperti membuat bakul (dunak) dan anting (wadah tempat makanan) yang telah digeluti menjadi sisi lain kehidupan para warga Desa Sumurboto untuk menambah penghasilan keluarga.
Selain itu, membuat anyaman bambu sudah menjadi tradisi turun-temurun meskipun harus bersaing dengan produk plastik.
Meski ada yang mengakui keterbatasan permodalan. Tetapi bukan menjadi penghalang saat mengisi waktu luang untuk memenuhi pesanan.
Telaten dan semangat disertai ketrampilan khusus saat menganyam, merupakan modal utama agar hasilnya bisa maksimal, bertahan dan dikenal oleh masyarakat luas.
Misalnya, untuk menyelesaikan satu buah dunak berukuran besar diperlukan waktu lebih kurang lima hari. Jika mendapat banyak pesanan, mereka mengerjakan bersama-sama kerabat dan keluarga lainnya.
Kepala Desa Sumurboto, Suprapti, mengungkapkan, warga di wilayahnya memang sangat berpotensi untuk membuat anyaman bambu.
“Sangat berpotensi, tapi dari dulu sampai sekarang masih belum bisa maju, penyebabnya para perajin masih individual, artinya masih dilakukan pada perorangan tiap rumah, belum terbentuk kelompok penganyam. Tetapi mereka juga saling berinteraksi jika ada pesanan dalam jumlah banyak,” ungkapnya.
Faktor lainnya adalah pekerjaan menganyam dilakukan bukan sebagai mata pencaharian pokok, melainkan sebagai penopang waktu luang ketika mereka sedang tidak menggarap sawah.
Kemudian, para pelaku penganyam bambu, rata-rata sudah berusia tua. Sedangkan yang muda dinilai kurang minat untuk belajar menganyam bambu.
Dikatakannnya, berbagai upaya sudah dilakukan bersama pihak terkait. Harapannya, desa Sumurboto sebagai salah satu sentra kerajian anyaman bambu makin bisa menjadi salah satu ikon untuk Blora.
Untuk memotivasi agar kerajinan anyaman bambu diminati oleh anak-anak, pihaknya melakukan pelatihan keterampilan khusus kepada siswa SD di wilayah setempat.
Sementara itu, jari jemari Nasri (66) terlihat begitu lihai merangkai anyaman bambu. Penglihatan yang mulai berkurang tak menghalanginya untuk terus berkarya. Sembari duduk di kursi panjang di teras rumah, dirinya menikmati hari-harinya membuat dunak,
‘’Sejak masih perawan (remaja, red) saya sudah bisa membuat dunak. Sampai sekarang juga masih,’’ ujarnya mengawali pembicaraan.
Nasri mengaku keterampilan mengayam bambu dipelajarinya dari nenek buyutnya. Sama seperti dia, orang tuanya dulunya juga perajin anyaman bambu. ‘’Sudah turun temurun seperti ini,’’ ungkapnya.
Hanya, kata dia, menganyam bambu menjadi kerajinan bernilai ekonomi, bukan pekerjaan utama. Bercocok tanam di sawah dipilih menjadi profesi sehari-hari. Berkarya mengayam bambu baru dikerjakan sepulang dari sawah atau ketika ada waktu luang.
‘’Kami ini kan orang desa. Jadi ya tetap bertani. Mengayam bambu pekerjaan sambilan saja,’’ begitu dia beralasan.
Tak hanya Nasri, mengayam bambu juga dilakukan Resmi. Bedanya, Resmi berusia lebih muda, sekira 56 tahun. Sama seperti Nasri, mengayam bambu juga dilakukan Resmi saat waktu luang usai bekerja di ladang.
‘’Sebagain besar warga di Desa Sumurboto ini bisa menganyam bambu. Kalau ada pesanan, mereka siap menyelesaikannya,’’ tegasnya.
Kerajinan anyaman bambu seperti tempat nasi, dunak, tampah, irig dan anting dan lain sebagainya, menurut Sawit (68), perajin lainnya, mengaku sebagian di antaranya dikerjakan berdasarkan pesanan.
Namun, tidak sedikit pula para perajin yang sengaja membuatnya untuk stok sebagai antisipasi jika ada warga yang datang ke desa untuk membeli.
“Kalau saya, menjual ke pasar tradisional Kunduran, diangkut naik bus, selain buatan sendiri, saya juga kulakan,” kata Sawit.
Dia mengakui kehadiran barang-barang berbahan plastik maupun lainya yang diproduksi pabrik menjadikan kerajinan anyaman bambu kalah bersaing. Namun, dia mengungkapkan, sejak beberapa tahun terakhir produk anyaman bambu kembali banyak peminat. Hal itu seiring banyaknya warga yang ingin kembali menggunakan produk-produk alam.
‘’Meski tidak banyak, tapi masih laku dan dicari pembeli,” ucapnya.
Harga yang ditawarkan pun tergolong murah, tergantung besar kecilnya ukuran. Mulai dari Rp7.500,00 hingga Rp15.000,00 per buah.(RED-HB).